Sepulang dari diskusi bulanan tentang pembelajaran, entah mengapa tiba-tiba saya memiliki hasrat yang sangat kuat sekali untuk menonton film yang inspiratif. Saya mulai memilah-milah 28 film terekomendasi dari seluruh penjuru dunia. Dari Freedom Writers sampai A Head of The Class. Karena film-film inspiratif dari dalam negeri sudah sering saya tonton, bahkan 1 film (laskar pelangi) saya rela dan senang menontonnya hingga 5 kali. Maka, demi memenuhi hasrat dan keinginan saat ini, saya putuskan untuk memilih film inspiratif dari luar negeri. Dan pilihan saya jatuh pada dua film Jepang: Great Teacher Onizuka dan Gokusen. Karena keduanya tidak mungkin dilihat secara bersamaan,maka Gokusen lah yang pertama saya putar.Baru setelah itu Great Teacher Onizuka.
Dan ternyata film Gokusen memiliki korelasi yang positif (meminjam terminologi guru matematika) dengan apa yang kami diskusikan panjang lebar sabtu ini dengan guru-guru jepang dan beberapa guru dari Amerika Serikat dan Inggris. Pada diskusi sabtu ini ada satu kata yang kemudian “memuncratkan” ide dan pemahaman tentang sosok guru itu sendiri. Dan kata itu adalah Vocation. Memang kata ini tidak berhubungan secara langsung dengan guru,namun maknanya kami pandang mencitrakan bagaimana seharusnya sosok guru itu sendiri. Kolega saya Toms-guru berkebangsaan Inggris-menjelaskan secara detail perbedaan kata Vocation dengan kata yang sering kita gunakan:job. Menurutnya sesuatu pekerjaan yang dilakukan dengan kesungguhan hati dan penuh dedikasi dan kecintaan itulah Vocation. Sedangkan kata yang kedua (job) lebih menunjukkan pada sekedar bekerja untuk mendapat imbalan atasnya. Yang lebih ekstrim lagi pendapat kolega guru dari jepang -Chiakhiro Sue san-,yang memandang vocation sebagai pekerjaan yang diturunkan dari langit. Dari beberapa deskripsi makna dan perspektif itulah ,maka vocation lebih “berasa” dibanding lainnya. Dan tentunya jika profesi guru itu sebuah vocation maka profesinya sungguh akan menempati maqam tertinggi dalam kehidupan ini: bekerja dengan cinta,dedikasi dan kasih sayang.
Diskusi kami semakin mengembang manakalah kami membahas tentang sosok profesi guru apakah sebagai Vocation atau hanyalah sekedar pekerjaan yang tidak berbeda dengan profesi lainnya: mendapatkan limpahan materi pemuas semata. Sang moderator kemudian menuliskan sebuah pertanyaan besar di white board :”Do You Like Teaching? Why?. Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana sekali. Namun dibalik kesederhanaan pertanyaan itu justru saya temukan sebuah makna hakiki dari sebuah profesi guru yang seharusnya dan sebenarnya.
Yamada san,seorang guru bagi anak berkebutuhan khusus ( tuna rungu) memiliki pengalaman mengajar puluhan tahun dimana beberapa tahun darinya ia habiskan di Hawai. Dengan sangat lantang ia katakan bahwa ia tidak hanya suka mengajar namun juga mencintai sekolah (I like teaching and love school). Baginya mengajar telah menjadi bagian terpenting atas hadirnya ia di dunia ini. Bahkan kecintaannya pada sekolah sudah tumbuh sejak ia masih mengenyam pendidikan di Sekolah dasar. Konon,karena tidak ingin pulang ke rumah saat jam pelajaran berakhir, ia rela bersembunyi di balik lemari-lemari peralatan praktek di laboratorium IPA di sekolahnya. Karena, di laboratorium itu ia menemukan kenikmatan-kenikmatan psikologis yang luar biasa, bagaimana cawan dan tabung-tabung gelas itu menariknya kedalam kenikmatan ilmiah layaknya anak –anak kita saat ini tertarik oleh Play Station,Game Online, atau hiburan-hiburan virtual yang memaksa mereka diam dan bersujud dihadapan mesin-mesin permainan itu. Baginya mendidik itu tidak cukup senang pada aktifitas pekerjaannya belaka,namun juga pada semua hal yang ada di dalamnya:kelas,anak didik,system dll.
Dengan agak malu-malu, Prof. Takaki mengungkapkan fakta- berdasar penelusurannya selama ini terhadap guru-guru di sekolah- bahwa tidak semua dari mereka menyenangi mengajar!Apalagi menyenangi sekolah. Ada guru yang sangat enjoy dengan mengajar,namun tidak menyenangi sekolah dimana ia mengabdikan dirinya. Ada juga yang tidak suka kedua-duanya, baginya mengajar sekedar upaya untuk tidak dianggap menganggur, atau hanya dijadikannya sebagai mata pencaharian namun bukan mata pengabdian.
Perspektif-perspektif Vocation inilah yang saya temukan dalam film Gokusen tadi.Terdapat banyak karakter dalam film ini,namun saya akan hanya sebutkan 3 karakter utama yang banyak menginspirasi saya dan tulisan ini. Pertama adalah sang guru itu sendiri: Yamaguchi, itu merupakan sapaan terhormat yang diberikan oleh murid dan orang tua mereka. Dia sesungguhnya termasuk keturunan Yakuza paling disegani di jepang.Yang kedua adalah: Odagiri Ryu,dulu dia ini muridnya Yamaguchi,namun suatu ketika menjadi koleganya.Yang ketiga: Yabuki Hayato, dialah pemimpin di kelas 3D,kumpulan kelas yang “nakal”.
Apa sesungguhnya yang menarik dari cerita di film ini adalah dedikasi yang sangat luar biasa yang ditunjukkan oleh sang guru dalam menghadapi keberagaman dan kenakalan murid-muridnya. Ketika tidak adalagi yang mau mengorbankan kesabarannya dalam mendidik mereka, ia dengan kesabaran dan rasa sayang dan cinta yang ikhlas mencoba menumbuhkan dan berjalan bersama disetiap langkah mereka menemukan jalan kembali ke kebaikan. Yamaguchi telah menjadi Pigmalion effect bagi Pendidikan. Ia menjadi sangat yakin, sekeras dan sejelek apapun prilaku anak didiknya, dengan cinta dan dedikasi yang tinggi akan lebur menjadi kebersamaan dan keberhasilan. Meski kolega dan orang-orang dekatnya disekolah tidak sejalan dengan langkah-langkah “abnormal” yang ia tempuh dalam menyikapi setiap kejanggalan anak didiknya.Dia sangat yakin bahwa kejanggalan dan kekerasan di ruang-ruang kelas terjadi saat:
1. Siswa tidak memiliki pilihan-pilihan dalam aktifitasnya di ruang kelas
2. Siswa direndahkan oleh sang guru dan oleh gaya mengajarnya
3. Guru dikendalikan oleh seperangkat kurikulum dan silabi-silabi hingga ia bekerja layaknya robot yang terprogram
Dan yang ia lakukan justru sebaliknya, memberi mereka pilihan dan alternative,menghargai mereka sebagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Dia tidak memperlakukan anak berdasar keunggulan keunggulan kognisi, apalagi keunggulan fisik, baginya semua sama membutuhkan kasih sayang untuk bisa berkembang dan tumbuh. Dan yang terpenting, ia bukanlah type guru kurikulum yang saklek pada aturan tertentu yang kadangkala justru mengkebiri dan memenjarakan kreatifitas anak didiknya. Ia biarkan anak didiknya menemukan jatidirinya, potensinya dan pilihan-pilihannya,ia sekedar menggerakkan api motivasi dan potensi dalam diri anak didiknya. Dia telah melakukan Towards A Pedagogy Of Peace, dia telah mengembangkan pedagogis damai.
Karenanya Jangan menjadi seorang guru,kalau kita hanya ingin menjadikannya sekedar mata pencaharian,apalagi sekedar status PNS. Jangan menjadi Guru kalau niatan kita hanyalah ingin mendapatkan sanjungan-sanjungan dunia terkait profesi itu. Sekali lagi jangan menjadi guru kalau hanya mengharap tunjangan sertifikasi,jangan,jangan kumohon jangan menjadi guru kalau hanya untuk itu.
Namun ,jadilah guru karena anda memiliki rasa cinta dan kasih sayang dalam mendidik tunas-tunas bangsa itu. Hanya dengan cinta dan kasih sayanglah pendidikan mampu menemuhkan roh nya kembali:memerdekakan manusia!
0 Comments